Kamis, 18 Desember 2008

Obama Pendekar Terbaik (versi majalah Times)

Masih ingat ketika Obama dicerca lawan, dijatuhkan, bahkan dihujat oleh Pendetanya sendiri? dengan tenang, dia menanggapi,... sesekali mencari celah untuk mengajaknya kembali menuju permasalahan yang lebih penting, dan ketika usaha itu tidak berhasil,... Obama segera kembali fokus merenda jalan yang telah dibuatnya, seperti tak pernah terjadi apa apa sebelumnya,.....
ini benar benar seperti pendekar terbaik yang dituturkan seperti berikut,....(tentu ada bagian yang tidak pas benar bagi Obama)

(jadi yang Ini Obama pendekar terbaik versi solverblog.blogspot)
Pendekar terbaik tidak hanya gesit membaca serangan lawan, tapi juga, terhadap tajamnya sabetan mata pedang, ia tak pernah terluka. Ia tidak mengalahkan, sementara musuh tak pernah mampu menyentuhnya. Ia hanya membuat semua orang mengalahkan dirinya sendiri. Biasanya di akhir pertempuran, tak seorangpun merasa dikalahkan. Setiap kepala tertunduk, mendapati hatinya lepas dari kesombongan.
“Pendekar jenis apa lagi ini, ya Kiai?”, tanyaku kebingungan
“Tubuhnya sediri menjadi lembut sebagaimana lisannya. Tepat ketika ujung pedang akan menyentuhnya, tubuhnya membelah memberikan segaris jalan agar pedang itu lewat. Dengan demikian tidak ada luka. Adalah sunatullah bahwa tak ada yang dapat melukai kelembutan”.
“Apakah seperti air di kali, ya Kiai? Saat dipukul dia menyibak dan tak ada darah. Atau seperti udara. Apapun bisa menembusnya. Hentakan sekuat apapun tidak membenturnya. Padahal dia berada dekat, atau bahkan selalu mendekap semua benda”
Pak Kiai mengucapkan tasbih beberapa kali. Aku senang karena perhatiannya kepadaku sangat penuh, tepancar dari tajam sorot matanya yang mengguyur mukaku. Kadang aku lantas tersipu. Apalagi, jika mau jujur, perhatianku atas petuah-petuahnya malahan seringkali tidak sebaik apa yang Kiai lakukan untukku. Pasti beliau sangat memahami kebodohanku. Aku menjadi makin mencintainya. Melihat aku diam, beliau melanjutkan,
“Satu kesaktian pamungkas yang dia miliki adalah keyakinannya bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Bukan air. Bukan udara. Mungkin lebih tepat dibilang seperti kehampaan. Ha ha ha. Siapa sih yang bisa melukai kehampaan? Bukan saja dia tak bisa dihambat, disumbat, atau dikurung dalam botol sebagaimana air atau udara, lebih dari itu, ketika musuh menyerang, musuh itu tak pernah menemukan sesuatu. Namanya juga hampa”
“Sang musuh menjadi seperti orang gila, ya Kiai? Bertempur sendirian di angkasa luar. Sabet sana-sini. Kadang berkelit, loncat kiri kanan. Kadang terjatuh. Tapi tak ada yang terluka akibat sabetan pedangnya. Paling-paling musuh itu malah melukai dirinya sendiri”
Pak Kiai kembali mengucapkan tasbih, kemudian istghfar, lalu katanya,
“Yang lebih dahsyat justru bukan itu. Kesadaran bahwa dirinya bukan siapa-siapa membawanya sampai ke tingkat tawadhu’ di hadapan Allah. Bagi dia, semuanya sirna sebenar-benar sirna, termasuk dirinya sendiri. Yang ada hanyalah Allah. Jika dia menggerakkan tangannya, dia rasakan dia tidak mampu menggerakkannya kecuali jika Allah memberikan kemampuan kepadanya untuk menggerakkannya. Sampai tingkat ini, ketika dia bergumam dimanakah pertolongan Allah. Allah menjawab sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”
Aku tertunduk, entah sudah paham atau sudah ngantuk. Ingin ku katakan pada Kiai bahwa aku mau jika Allah jadikan saja aku pendekar itu. Aku malu. Aku masih ingat, jika seseorang ditolong Allah tak seorangpun mampu menghentikannya. Sebaliknya, orang yang ditinggalkan Allah, tak seorangpun dapat menolongnya, bahkan dirinya sendiripun tidak.

(ditulis kembali dan ditambah tambahi..... )

setuju?
tidak setuju?
apakah yang lain setujukalau anda tidak setuju?
saya mah setuju ajah

Tidak ada komentar: